Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
Wacana
terkait dibolehkannya melaksanakan kampanye oleh salah satu kontestan pemilu di
perguruan tinggi sebenarnya bukanlah hal baru. Ramainya hal tersebut menarik perhatian
Samsul Arifin Dosen Fakultas Hukum (FH) UM Surabaya untuk memberikan tanggapan.
Menurut
Ari, jika sedikit melihat sejarah, bahwa sejatinya kampanye di kampus
diperbolehkan, dengan alasan bahwa generasi muda memiliki tanggung jawab moral
untuk mengetahui secara langsung calon pemimpinnya, disatu sisi mahasiswa
dianggap kaum terdidik yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran terhadap
kemajuan bangsa.
“Akan
tetapi hal tersebut berubah sejak dikeluarkannya kebijakan baru oleh Kementrian
Pendidikan saat itu, kebijakan yang dimaksud ialah terkait dengan normalisasi
kehidupan kampus dan badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) yang mengkotakkan
mahasiswa dalam perannya terhadap praktik politik praktis,”jelas Ari Kamis
(4/8/22)
Menurutnya,
secara normatif, sebagaimana disebutkan dalam pasal 280 ayat (1) huruf h, undang-undang
nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi “pelaksana, peserta,
dan tim kampanye pemilu dilarang; menggunakan fasilitas pemerintah, tempat
ibadah, dan tempat pendidikan”.
Sedangkan
penjelasan terhadap isi pasal tersebut memberikan penafsiran yang berbeda.
Bahwa seorang kontestan pemilu diperbolehkan untuk hadir ke kampus manakala
memenuhi dua unsur penting.
Bahwa
fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika
pertama, orang tersebut hadir tanpa menggunakan atribut kampanye, dan kedua,
harus berdasarkan undangan dari penanggung jawab tempat tersebut.
Menurut
penjelasannya, tidak sedikit orang-orang yang akan mencalonkan diri sebagai
peserta pemilu memanfaatkan kondisi tersebut untuk menaikkan elektabilitasnya
di dunia kampus.
“Kondisi
seperti ini akan memiliki dampak besar terhadap dunia Pendidikan yang selama
ini dianggap sebagai tempat yang independen, segala bentuk pemikiran didalamnya
dilindungi oleh undang-undang, karena hal tersebut menjadi semangat dari kebebasan
akademik,”tegas Ari.
Di akhir keterangannya, Ari juga berpesan anak muda tidak boleh anti politik, dan para
pemangku kebijakan juga tidak boleh memanfaatkan kondisi tersebut untuk
melanggengkan posisi dan kekuasaannya di pemerintahan.
“Hal
ini harus terus dilaksanakan sebagai semangat bersama untuk mewujudukan negara
demokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,”tukasnya.