Kekerasan seksual sekarang ini di Indonesia, diberitakan semakin marak dan menjadi-jadi. Kekerasan seksual ini sudah terjadi di lembaga-lembaga pendidikan, baik, sekolah maupun perguruan tinggi. Bahkan di lembaga pendidikan agama, yang dikenal sakral dan religius.
Thoat Stiawan, Dekan Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) tanggapi ini dalam perspektif kajian hukum islam. pada kegiatan webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Gender (LKG) UM Surabaya (08/01/2021), Thoat menyampaikan bahwa jika mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Sekseual (RUU PKS), maka kita sudah melakukan tiga hal sekaligus yaitu Maqasid Syariah, Hak Hak Asasi yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945 pasal 28 dan mengamalkan QS. Ali 'Imran Ayat 104.
Lebih lanjut lagi dekan FAI UM Surabaya ini menjelaskan konsep Maqasid Syariah yang menekankan tujuan penetapan hukum Islam dalam upaya memelihara kemaslahatan hidup manusia, dengan tujuan mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan diri dari bahaya
“Muhammadiyah melalaui 'Aisyiyah, mendorong penuh terkait disahkanya RUU PKS, sehingga ada intruksi dari pimpinan muhammadiyah tentang Asy-Syari’ah al Khashah (penerapan agama dalam konteks khusus) yang harus diterapkan di kondisi sekarang ini,” jelas Thoat.
Thoat menanggapi dalam kajian islam RUU PKS yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan karena adanya penolakan dari kelompok konservatif Islam yang berpendapat bahwa RUU ini dianggap mempromosikan seks bebas dan perilaku seks menyimpang.
“Kenapa perlu membahas perkosaan dan perzinahan secara tersendiri? Ini karena beberapa hal; pertama, karena perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Kedua, karena dalam penyelesaian hukum dan penanganannya, kadang-kadang perkosaan disamakan dengan perzinahan. Akibatnya korban perkosaan dianggap pezina. Menurut para ulama bahwa menganggap sama perkosaan dan perzinaan adalah kurang tepat,” ungkap Thoat.
Thoat juga menyampaikan meskipun perkosaan dan perzinahan sama-sama bisa menimbulkan dampak panjang bagi perempuan (sepanjang usia anak) dan sama-sama dilarang agama, namun keduanya memiliki perbedaan mendasar. Unsur utama perzinahan adalah dilakukan di luar pernikahan sehingga tidak ada perzinahan dalam pernikahan. Sementara itu, unsur utama perkosaan adalah pemaksaan, sehingga ada pihak pemaksa, yaitu pemerkosa, dan ada pihak yang dipaksa, yaitu korban perkosaan.
“Namun demikian, unsur pemaksaan dalam perkosaan ini tidaklah mudah dibuktikan karena perkosaan pada umumnya terjadi di tempat yang tersembunyi sehingga sulit dibuktikan. Di samping itu, kegagalan saksi untuk mendapatkan bukti atas kesaksiannya juga bisa menyebabkan orang enggan untuk menjadi saksi karena justru bisa dikenai hukuman pencemaran nama baik (di beberapa negara masuk dalam kategori qadzaf, atau tuduhan palsu zina). Hal ini diperparah dengan ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat di mana perempuan kerap dipandang sebagai sumber fitnah yang dipahami sebagai penggoda hasrat seksual bagi laki-laki, sehingga ada kecenderungan besar dalam masyarakat untuk menyalahkan perempuan korban perkosaan,” tutur Thoat.