Dijadikannya
BPJS sebagai syarat dalam mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM) , Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK) hingga Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang
tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang
optimalisasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menimbulkan
polemik di tengah masyarakat.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Satria Unggul Wicaksana menjelaskan setidaknya ada dua problem yang perlu diketahui. Bahwa pengurusan SIM dan STNK berdiri di UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), sedangkan penerbitan BPJS dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
“Dilihat dari jenis perundang-undangan yang berbeda tersebut, jelas intruksi presiden dapat dianggap cacat prosedur formil untuk pengaturannya,”tegas Satria Jumat (25/2/22)
Ia menjelaskan bahwa kebijakan ini dianggap maladministrasi apabila seluruh pelayanan publik harus mensyaratkan adanya BPJS, karena selain menerbitkan SIM dan STNK, syarat untuk membeli rumah juga perlu surat BPJS.
“Apalagi dalam sistem BPJS tertaut tentang kerahasiaan data pasien yang jelas dilindungi oleh undang-undang dan potensi penyebarluasan data privasi menjadi masalah serius dalam perlindungan hak dasar warga negara,”imbuhnya lagi.
Lebih
lanjut lagi Satria memaparkan dua langkah yang bisa dilakukan masyarakat yang
dirugikan dari diberlakukannya kebijakan tersebut. Pertama, melakukan pengujian
Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang optimalisasi pelaksanaan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) ke Mahkamah Agung (MA), karena dianggap bertentangan
dengan UU diatasnya.
“Kedua melaporkan berbagai macam tindakan maladministrasi penggunaan BPJS kepada Ombudsman RI, sebagai lembaga negara yang menerima aduan masyarakat perihal maladministrasi pelayanan publik,”pungkasnya.