Di tengah arus
teknologi informasi yang lajunya semakin cepat, popularitas belanja online
melalui e-commerce semakin meningkat. Dengan inovasi teknologi informasi
di bidang keuangan atau financial technology (fintech) dalam proses
memudahkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman. Salah satunya
diversifikasi produk ke ranah pembiayaan kredit dalam transaksi online.
Fitur Buy Now
Pay Later (BNPL) atau yang sering dikenal dengan sebutan paylater.
BNPL merupakan layanan yang memfasilitasi konsumen membayar suatu transaksi di
kemudian hari, baik dengan sekali bayar maupun dengan cicilan. Metode ini tentu
menjadi pilihan alternatif pembayaran yang menarik bagi masyarakat yang
memiliki anggaran terbatas.
Arin Setyowati
Dosen Perbankan Syariah UM Surabaya menyebut, berbagai jenis e-commerce
telah berkolaborasi fintech untuk pengajuan pinjaman melalui fitur Paylater
diantaranya; Gopay, OVO dan berbagai perusahaan market place seperti Traveloka,
Shopee, Kredivo dan sebagainya.
Arin menjelaskan,
ragam periode cicilan dalam PayLater di salah satu e-commerce, seseorang
bisa memilih cicilan mulai dari 3 kali, 6 kali dan 12 kali. Biaya penanganannya
1% per transaksi, suku bunganya sekecil-kecilnya 2,95% dari jumlah total
pembayaran. Adapun biaya keterlambatan pembayarannya 5% per bulan dari seluruh
total tagihan yang telah jatuh tempo.
Arin memaparkan, riset
yang dilakukan Kredivo dan Katadata pada Juni 2022 menunjukkan bahwa alasan
pengguna memilih paylater sebagai metode pembayaran transaksi online adalah
fleksibilitas (56%), kemudahan akses dalam mendapatkan kredit (55%), dan aman
karena terintegrasi dengan e-commerce yang sudah terdaftar dan diawasi
oleh OJK (51%).
Fasilitas PayLater
ini diatur dalam pasal 1 No.3 Peraturan (PJOK) No: 77/POJK.1/2016 tentang
layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Didukung dengan syarat
dan ketentuan lain yang berlaku, misal terkait sanksi jika user belum memenuhi
atau membayar tagihan, maka akun e-commerce nya dapat dibekukan dan pengguna
tidak dapat melakukan pembelian menggunakan fitur PayLater lagi.
Selain itu,
keterlambatan pembayaran dapat mempengaruhi peringkat kredit seseorang di SLIK
OJK (Sistem Layanan Informasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan) dan akan
dilaksanakan penagihan lapangan.
“Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jawa Timur Nomor 04 tahun 2022 tentang transaksi digital dengan
system PayLater memutuskan bahwa Sistem paylater dengan menggunakan akad
qard atau hutang piutang yang di dalamnya ada ketentuan bunga hukumnya haram
dan akadnya tidak sah, karena termasuk riba,”ujar Arin Selasa (16/5/23)
Namun, jika di
dalamnya tidak ada ketentuan bunga, hanya administrasi yang rasional, hukumnya
boleh.
Sedangkan sistem Paylater
yang menggunakan akad jual beli langsung kepada penyedia Paylater yang
dibayarkan secara kredit hukumnya boleh, walaupun dengan harga yang relatif
lebih mahal dibanding dengan harga tunai. Serta bertransaksi dengan pengguna Paylater
diperbolehkan selama tidak diketahui secara jelas bahwa akad antara pengguna
dengan pihak penyedia Paylater tersebut adalah akad yang diharamkan.
Arin juga menambahkan,
adapun menurut pandangan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah pada penggunan
PayLater ini termasuk ke dalam pasal yang berhubungan dengan akad qardh sebagaimana
diatur dalam pasal 20 ayat 36 dan pasal-pasal yang terkait dengan akad qard
diantaranya pada pasal 606, pasal 607, pasal 608, pasal 609 dan pasal 611
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Fitur PayLater
dikatakan riba ketika adanya unsur ziyadah atau tambahan yang
disyaratkan di muka oleh pihak penerbit PayLater kepada konsumennya. Termasuk
dalam jenis riba utang yang diharamkan.
“Jika dalam fitur PayLater
membebankan biaya tambahan maka bukan termasuk riba. Asalkan biaya tambahan
tersebut dihitung sebagai jasa atau ijarah,”pungkas Arin